24 Desember 2008

Allah Sudah Menentukan Kemenangan Kaum Muslimin

Let's Learn What We Have To Learn.


Selasa, 21 Okt 2008 08:53 Menurut Al-Awalaki, cepat atau lambat Allah
swt akan memberikan kemenangan bagi umat Islam, dan untuk meraih
kemenangan itu Allah swt menciptakan kondisi tertentu sebagai ujian bagi
keimanan kaum Muslimin. Oleh sebab itu, Al-Awlaki dalam dakwahnya
menyerukan umat Islam untuk tidak takut dan tidak mudah putus asa dalam
menghadapi berbagai tantangan zaman dan tantangan dari musuh-musuh Islam.


Sejarah Islam mencatat kemenangan gemilang kaum Muslimin di masa lalu
dalam berbagai kondisi dimana ketika sebagain kaum Muslimin merasa
pesimis akan menang. Semuanya itu, menurut Syaikh Anwar Al-Awlaki,
seorang da’i warga negara AS keturunan Yaman, tidak terjadi begitu saja
tapi karena Allah ‘Azza wa Jalla memang mempersiapkan kemenangan bagi
kaum Muslimin.


Menurut Al-Awalaki, cepat atau lambat Allah swt akan memberikan
kemenangan bagi umat Islam, dan untuk meraih kemenangan itu Allah swt
menciptakan kondisi tertentu sebagai ujian bagi keimanan kaum Muslimin.
Oleh sebab itu, Al-Awlaki dalam dakwahnya menyerukan umat Islam untuk
tidak takut dan tidak mudah putus asa dalam menghadapi berbagai
tantangan zaman dan tantangan dari musuh-musuh Islam.


Terkait hal ini, Al-Awlaki mengungkap sejumlah peristiwa-peristiwa besar
yang dihadapi oleh kaum Muslimin yang membuktikan bahwa Allah swt
menyiapkan sebuah kemenangan yang gemilang bagi kaum Muslimin yang
beriman teguh dalam menghadapi berbagai cobaan, mulai dari masa dakwah
Rasulullah sampai era Perang Salib.


*Kemenangan Dakwah Rasulullah*


Masa-masa awal dakwah Islam yang dilakukan Rasululah di kota Makkah,
merupakan masa-masa terberat yang dihadapi Rasulullah Muhammad Saw. Tiga
belas tahun Rasulullah berdakwah di Makkah, namun tetap mendapat
perlawanan dari kaum kafir Makkah dan hanya sedikit yang mau memeluk
agama Islam. Sehingga Rasulullah berinisiatif untuk memperluas dakwah
sampai ke Ta’if , di negeri ini Rasulullah juga menerima perlawanan
bahkan perlakuan yang kasar dari mereka yang menolak agama Islam yang
dibawa Rasulullah.


Hingga datanglah masa yang disebut Bu’ath. Terkait Bu’ath Aisyah ra
menyatakan, “Bu’ath adalah sebuah hari dimana Allah ‘Azza wa Jalla
memberikannya sebagai hadiah bagi Muhammad saw.”


Hari Bu’ath, kata Al-Awlaki, adalah hari ketika dua kelompok suku saling
berperang di Madinah dan para pemimpin kedua kelompok suku itu saling
bunuh, sehingga ketika Rasulullah mendatangi mereka, kedua kelompok suku
yang saling berperang itu tidak memiliki kepemimpinan (Mala) lagi,
karena pemimpin-pemimpin mereka terbunuh atau terluka.


Mala, sambung Al-Awlaki juga sebutan untuk sekelompok orang yang
menentang para Ambiya, yang menentang Islam. Kelompok itu terdiri dari
orang-orang yang mengambil keuntungan dari status quo dan menolak adanya
perubahan sehingga mereka menentang dakwah para Ambiya yang memang ingin
melucuti kekuasaan mereka dan menggantikannya dengan dengan kepemimpinan
yang sesuai ajaran al-Quran, yaitu konsep kekhalifahan.


Dalam konsep kekhalifahan, semua warga negara adalah sama dan khalifah
yang dipilih diantara mereka, adalah khalifah yang hanya dipilih untuk
menenggakan hukum-hukum Allah swt dan bukan hukum atas kepentingan
pribadi orang yang bersangkutan. Itulah sebabnya, seorang khalifah
disebut Mas’uul yang artinya seseorang yang akan dimintai
pertanggungjawabannya di Hari Kiamat. Mengingat tanggung jawab yang
sangat besar, menjadi khalifah bukan posisi yang diminati banyak orang,
kecuali mereka yang memiliki kualitas yang nyaris sempurna sebagai
seorang Muslim dalam menegakkan hukum-hukum Allah swt.


Karena tanggung jawab yang besar sebagai khalifah, seorang Umar bin
Khattab pernah mengatakan, “Saya tidak ingin dua anggota keluarga saya
memegang posisi itu pada Hari Pengadilan nanti.”


Yaum al-Bu’ath adalah persiapan ketika tidak ada lagi kepemimpinan.
Itulah sebabnya ketika kaum Ansor berhaji ke Makkah dan mereka mendengar
tentang sosok Rasulullah Muhammad saw, kaum Ansor mengatakan, “Ayo kita
bawa laki-laki ini ke kampong halaman kita dan semoga Allah menyatukan
kita semua melalui laki-laki ini.”


“Mereka (kaum Ansor) kehilangan arah, kehilangan sosok pemimpin.
Subhanallah, manusia tanpa sosok pemimpin tidak akan bisa bertahan.
Manusia butuh seorang pemimpin dalam kondisi baik dan buruk. Dalam kubu
kebaikan ada kepemimpinan, begitu juga kubu syaitan. Sudah menjadi sifat
alamiah manusia, mereka butuh seseorang sebagai penunjuk jalan,” tulis
al-Awlaki.


*Kemenangan Pasukan Islam Menaklukan Persia*


Contoh lainnya yang membuktikan bahwa Allah swt telah menyiapkan
kemenangan bagi kaum Muslimin adalah ketika Umar bin Khattab mengirim
pasukannya untuk melawan kekuatan imperium Persia. Pemimpin pasukan
Muslim, Abu ‘Ubaida ath-Thaqafi adalah sosok yang pemberani, namun harus
menelan kekalahan dalam perang al-Jisr melawan pasukan Persia. Setengah
dari pasukan Muslim terbunuh dalam perang tersebut. Sementara pasukan
Persia merayakan kemenangan mereka dan berpikir bahwa mereka bisa
mengusir kaum Muslimin di wilayah-wilayah yang sebelumnya berhasil
ditaklukkan pasukan Muslimin.


Tapi, dalam buku At-Tarikh al-Islami, penulisnya Mahmud Shaakir
menyatakan, “Allah bersama orang-orang yang beriman.” Jika kaum Muslimin
memenuhi syarat untuk menang, maka mereka akan meraih kemenangan itu,
tanpa harus melihat apakah kaum Muslimin jumlahnya banyak atau sedikit,
tanpa harus melihat apakah mereka punya senjata berupa bom nuklir atau
tidak. Persoalannya bukan dari sisi jumlah atau kecanggihan senjata.
Tapi persoalannya adalah apakah kaum Muslimin memiliki keimanan yang
teguh. Sepanjang seorang Muslim memiliki keimanan yang tidak mudah
goyah, Allah “Azza wa Jalla akan memberikan kemenangan bagi Muslim itu,
seperti yang telah dijanjikan Allah swt dalam firmannya di surah Al-Hajj
ayat 38, “Sesungguhnya Allah membela orang yang beriman.”


Keimanan yang kuat, itulah syarat dibutuhkan untuk mendapatkan
pertolongan Allah swt. Ketika kaum Muslimin yang beriman tangguh berada
dalam kesulitan, maka hanya Allah swt yang akan menolong mereka keluar
dari kesulitan itu.


Lantas apa yang terjadi setelah kemenang pasukan Persia atas kaum
Muslimin? Persia malah terlibat dalam pertempuran antara para
pemimpinnya. Pasukan Persia terpecah menjadi dua kelompok yang saling
bertikai. Jenderal Persia yang ditunjuk untuk menghadapi pasukan Muslim
ditarik ke ibukota Persia untuk mengatasi pertikaian di dalam negeri
Persia. Umat Islam yang menghadapi ancaman “pembersihan” secara permanen
dari bangsa Persia, kini bebas dan kekhalifahan Islam punya cukup waktu
untuk mengerahkan kembali pasukannya guna mengalahkan pasukan Persia.
Peristiwa ini menjadi bukti, ketika situasinya nampak menjadi tidak
menguntungkan bagi kaum Muslimin, pada saat itulah Allah swt membuka
jalan bagi kemenangan kaum Muslimin.


*Kemengan Kaum Muslimin dalam Perang Salib*


Peristiwa lain yang tak kalah dashyatnya, yang menjadi momen kemenangan
gemilang kaum Muslimin adalah peristiwa Perang Salib, dimana pasukan
Islam saat itu berada di bawah komando Salahuddin Ayyubi.


Salahuddin menyatukan para amir di seluruh Tanah Suci dan memimpin
perlawanan terhadap Pasukan Salib dari Roma yang menguasai seluruh
pesisir pantai wilayah Palestina, termasuk kota Yerusalem dan kota-kota
penting lainnya di Palestina, serta wilayah al-Sham (yang terdiri dari
wilayah Yordania, Suriah, dan Libanon).


Namun sebagian tokoh ulama Islam saat itu menilai keinginan Salahuddin
untuk melawan penjajahan kaum Romawi di bumi Islam sebagai keinginan
yang gila, mengingat kuatnya posisi kaum Romawi dengan dukungan
negara-negara Eropa. Suara umat Islam pun terpecah antara yang mendukung
dan tidak mendukung perjuangan Salahuddin.


Salahuddin tidak gentar, dengan bekal rasa tawakkal pada Allah swt ia
tetap memimpin perlawanan dengan jumlah pengikut yang tidak sebanding
jika dibandingkan dengan kekuatan pasukan Salib. Meski demikian, pasukan
Salahuddin sedikit demi sedikit berhasil merebut kembali wilayah-wilayah
yang dikuasai pasukan Salib.


Puncak Perang Salib, adalah Perang Salib keempat ketika Paus
memobilisasi kekuatan dari seluruh Eropa untuk melawan pasukan Muslim
pimpinan Salahuddin. Tidak tanggung-tanggung, Raja dari Inggris, Prancis
dan Jerman ditunjuk langsung untuk memimpin pasukannya masing-masing.
Jika dijumlahkan, pasukan dari ketiga kerajaan itu sangat besar. Pasukan
yang dipimpin Raja Frederick Barbarossa dari Jerman saja, diperkirakan
berjumlah 300.000 orang. Saking besarnya jumlah pasukan, kapal-kapal
perang tidak bisa mengangkut semua pasukan sehingga Eropa mengirim
pasukannya ke Palestina dengan dua cara, pasukan Inggris dan Prancis
dikirim lewat laut dan pasukan Jerman dikirim lewat darat.


Jumlah pasukan Salib yang besar, lagi-lagi membuat sebagian hari kaum
Muslimin ciut dan merasa tidak yakin mampu mengalahkan pasukan Salib.
Diantara mereka, bahkan ada yang mundur dari Jihad melawan pasukan
Salib, dan ironisnya, diantara mereka yang mundur terdapat para ulama.


Tentang hal ini, Ibnu Athir mengatakan, “Mereka datang pada kami lewat
darat dan laut. Beredar kabar di kalangan Muslimin bahwa Raja Jerman
datang dengan kekuatan 300.000 pasukan dan mereka datang dari arah
Utara. Sultan-sultan Muslim dan kaum Muslimin menjadi khawatir dan
takut. Dari kalangan ulama banyak yang bersiap-siap untuk kembali
berjihad ke al-Shaam, tapi banyak juga diantara ulama yang menarik diri
karena takut mendengar jumlah pasukan Prancis yang sangat banyak.”


Dari sini bisa ditarik sebuah pelajaran penting bahwa ulama bukanlah
sosok yang sempurna, mereka bukan Ambiya. Sebab itu, jika ada Muslim
yang secara buta menjadi pengikut seoran ulama, tidak ada jaminan bahwa
para ulama itu akan membawa pengikutnya ke jalan yang benar.


Apalagi di zaman seperti sekarang ini, posisi seorang ulama tidak lagi
ditentukan oleh standar ilmu yang harus mereka miliki tapi ditentukan
seberapa sering ulama bersangkutan tampil di televise sehingga membuat
ulama bersangkutan terkenal layaknya seorang selebritis.


Dahulu, kata al-Awlaki, seseorang baru bisa disebut alim ulama jika
sudah mendapatkan pengakuan dari ulama yang menjadi guru orang yang
bersangkutan. Berbeda dengan zaman sekarang, dimana seseorang bisa
tiba-tiba menjadi alim ulama karena ditunjuk sebagai alim ulama oleh
pemerintah, dan ia menjadi terkenal karena sering tampil di berbagai
stasiun televise, radio dan tampil berbagai acara, meski keilmuannya
tentang agama Islam masih belum memenuhi standar.


Kembali ke peristiwa Perang Salib, Ibnu Athir menyebut para ulama yang
lari dari jihad melawan pasukan Salib sebagai ulama pengecut, ulama yang
menggunakan dalil-dalil agama untuk mencari pembenaran atas sikap
pengecutnya, ulama yang memutarbalikkan ayat-ayat Allah dan hadis
seolah-olah ayat-ayat dan hadist itu adalah hukum Islam yang sebenarnya.
Padahal jihad itu adalah ujian Allah ‘Azza wa Jalla bukan hanya bagi
para ulama dan Salahuddin tapi juga ujian bagi umat Islam.


Seperti Allah menguji Nabi Musa dan Bani Israel saat terhalang Laut
Merah ketika menghindari kejaran Firaun. Ada sebagian Bani Israel yang
menuding Nabi Musa telah berbohong dan tidak mampu menyelamatkan mereka
dari kejaran Firaun. Namun Allah swt membuktikan pertolongannya dengan
memerintahkan Nabi Musa agar memukulkan tongkatnya ke air lau, sehingga
terbelahkan Laut Merah yang menjadi jalan bagi Nabi Musa dan pengikutnya
untuk menyelamatkan diri dari Firaun.


Kondisi yang hampir sama dialami pasukan Raja Frederick Barbarossa. Ada
beberapa versi yang menceritakan tentang nasib pasukan itu, salah
satunya menyebutkan bahwa pasukan Barbarossa dihadang sungai yang airnya
sangat amat dingin. Raja Barbarossa yang saat itu berusia sekitar 70
tahun, dengan mengenakan pakaian perang, diceritakan menyeberangi sungai
tapi jatuh dari kudanya ke dalam air sungai yang dingin itu. Raja yang
memimpin ratusan ribu pasukan itu terkena serangan jantung dan tewas.
Padahal menurut riwayat Ibnu Athir kedalaman air sungai tidak sampai
selutut Raja Jerman tersebut.


Setelah pimpinannya tewas, pasukan Jerman dikabarkan terserang berbagai
penyakit sehingga pasukan Jerman itu mulai terpecah belah. Dari 300.000
pasukan, hanya seribu orang yang berhasil sampai ke wilayah ‘Akka.


Sebelum berangkat dengan pasukannya, Raja Barbarossa sempat mengirimkan
surat pada Salahuddin yang dengan nada arogan mengatakan bahwa ia dan
pasukannya akan mengusir pasukan Salahuddin dalam waktu satu tahun. Tapi
apa yang terjadi? Pasukan Barbarossa bahkan sudah kalah sebelum
bertempur. Sang pemimpin pasukan Salib yang arogan juga mati di tengah
perjalanan. Allah ‘Azza wa Jalla tidak pernah mengizinkan pasukan
Barbarossa menginjakkan kaki ke Tanah Suci. Inilah yang terjadi jika ada
orang yang ingin memerangi agama Allah swt.


Ibnu Athir mengatakan, “Jika bukan karena kasih sayang Allah swt atas
umat ini, dengan membunuh Raja Jerman, mungkin saat ini kita akan
mengatakan bahwa Mesir dan Suriah dulunya adalah negeri Muslim.” Tapi
Allah swt berkehendak memberikan kemenangan bagi umatnya, berapapun
jumlah pasukan musuh saat itu. Dan untuk mendapatkan kemenangan itu,
Allah swt menciptakan situasi guna menguji keimanan umatnya.
(ln/anwar-alawlaki.com )

Disarikan dari tulisan Syaikh Anwar al-Awlaki. Imam Anwar al-Awlaki
adalah seorang ulama kelahiran New Mexico. Orangtuanya berasal dari
Yaman dimana ia tinggal selama sebelas tahun dan memperoleh bagian awal
pendidikan Islamnya.

Imam Anwar al-Awlaki sempat menjadi Imam masjid di Colorado, California.
Kemudian ia tinggal di kawasan Washington DC dimana ia memimpin Dar
Al-Hijrah Islamic Center sambil menjadi Pemuka Agama Islam di George
Washington University.

Imam Anwar al-Awlaki memiliki gelar S1 sebagai Insinyur Sipil dari
Colorado State University, S2 di bidang Pendidikan Kepemimpinan dari San
Diego State University serta sedang menekuni S3-nya di bidang
Pengembangan Sumber Daya Manusia di George Washington University. Ia
telah menghasilkan banyak seri audio popular termasuk “Kehidupan Para
Nabi”, “Kehidupan Akhirat”, “Kehidupan Muhammad”, “Kehidupan Umar bin
Khattab”, “kehidupan Abu Bakar Ash-Shiddiq”, “Kisah Ibnul Awka”,
“Konsisten di jalan Jihad” dan banyak lagi.
Taujih.

Pahlawan, Pecinta dan Pembelajar

Let's Learn What We Have To Learn.


Semangat kepahalwanan dan kekuatan cinta adalah sumber energi yang
menggerakkan segenap raga kita untuk menciptakan taman kehidupan yang
indah bagi diri kita dan orang lain. Tapi pembelajaran menuntun kita
untuk berjalan dengan cara yang benar pada peta jalan yang tepat menuju
ke sana.


Semangat kepahlawanan dan kekuatan cinta adalah sumber energi yang
mendorong kita untuk terus-menerus memberi, untuk berkontribusi tanpa
henti dalam menciptakan taman kehidupan yang indah itu. Tapi
pembelajaran menuntun kita untuk mengembangkan kapasitas diri kita, juga
tanpa henti, agar semangat memberi berbanding lurus dengan kemampuan
kita untuk memberi. Sebab mereka yang tidak punya apa-apa kata pepatah
Arab, takkan bisa memberi apa-apa.


Semangat kepahlawanan dan kekuatan cinta adalah sumber energi yang lahir
dari keikhlasan dan ketulusan niat, tumbuh berkembang dalam lingkungan
hati yang mulia dan luhur, mekar dan berbuah dalam rengkuhan jiwa yang
bajik dan bijak. Maka seluruh niatnya adalah kebajikan. Maka segala
cintanya adalah ketinggian. Tapi pembelajaran membingkai niat baik itu
denga cara yang benar dan tepat.


Maka berpadulah ketulusan dengan kebenaran. Maka bertautlah kebaikan
dengan ketepatan. Maka menyatulah keluhuran dengan keterarahan. Maka
bersamalah ketinggian cita dengan peta jalan yang terang benderang.


Begitulah pada mulanya pahlawan sejati menapaki tilas sejarah mereka.
Mereka mendengar panggilan sejarah yang diteriakkan oleh pekik nurani
mereka. Maka mereka terbangun, tersadar, lalu bergerak. Lalu datanglah
cinta meberi tenaga pada gerak mereka. Maka langkah kaki mereka menancap
kokoh di tapak sejarah, melaju secepat angin, kuat bertenaga bagai
badai. Tapi mereka menyadari makna waktu dalam aksi mereka; bahwa ada
keterbatasan waktu yang tidak bisa mereka kendalikan padahal cita mereka
teramat tingggi; bahwa memberi adalah proses yang tak boleh berhenti
seperti kompetisi marathon yang mensyaratkan nafas panjang. Mereka
memiliki sumber energi yang dahsyat, tapi mereka juga tahu bagaimana
mengelola energy itu untuk bisa menciptakan karya kehidupan yang
maksimal. Mereka menyadari bahwa mereka memiliki keterbatasan yang
rapuh, tetapi mereka juga tahu bagaimana mensiasati keterbatasan itu
untuk bisa tetap bertumbuh sampai ke puncak.
Sumber: taujih.

Mendaki Sejarah

Di alam batin para pahlwan, pencinta dan pembelajar sejati, hidup selalu
dimaknai dengan pendakian sejarah. Kita akan sampai ke puncak kalau kita
selamanya mempunyai energi dan rute pendakian yang jelas. Pendakian kita
akan terhenti begitu kita kehabisan nafas dan kehilangan arah. Energi
dan rute, nafas dan arah, adalah kekuatan fundamental yang selamanya
membuat kita terus mendaki, selamanya membuat hidup terus bertumbuh.


Semakin tinggi gunung yang kita daki, semakin panjang nafas yang kita
butuhkan. Begitu kita kehabisan oksigen, kita mati. Semakin kita berada
di ketinggian semakin kita kekurangan oksigen. Itu sebabnya kita harus
merawat dan mempertahankan semangat kepahlawanan kita. Karena dari
sanalah kita mendapatkan nafas untuk terus mendaki.


Tapi kita perlu rute yang akurat dan jelas. Sebab kesadaran tentang
jarak memberikan kita kita kesadaran lain tentang bagaimana
mendistribusikan energi secara seimbang dan proporsional dalam jarak
tempuh yang harus dilalui dan pada lama waktu yang tersedia.


Rute yang jelas dan akurat akan membuat kita jadi terarah. Keterarahan,
atau perasaan terarahm, /sense of direction, / memberi kita kepastian
dan kemantapan hati untuk melangkah. Pandangan mata kita jauh menjangkau
masa depan, menembus tabir ketidaktahuan, keraguan dan ketidakpastian.
Kita tahu kemana kita melangkah, berapa jauh jarak yang harus kita
tempuh, berapa lama waktu yang kita perlukan. Ketika kita menengok ke
belakang, atau melihat ke bawah, ke kaki gunung yang telah kita lalui,
ke lembah ngarai yang terhampar di sana, kita juga tahu jarak yang telah
kita lalui. Ilham dari masa lalu dan mimpi masa depan terajut indah dan
cerah dalam realitas kekinian.


Rute itu membuat kita menjalani kehidupan denga penuh kesadaran akan
jarak dan waktu. Dalam kesadaran ini fokus kita tertuju pada semua upaya
untuk menjadi efisien, efektif dan maksimal. Kita menjadi peserta
kehidupan yang sadar, kata Muhammad Iqbal.


Kesadaran itu manifestasi pembelajaran. Kesadaran itu melahirkan
kekhusyukan. Maka begitulah sejak dini benar, tepatnya pada tahun
keempat periode Makkah, Allah menegur keras para sahabat Rasulullah saw,
generasi pertama Islam, untuk tidak banyak bercanda dan segera menjalani
kehidupan dengan kekhusukan:


“/Belumkah datang saatnya bagi orang-orang yang beriman untuk
mengkhusukkan diri mengingat Allah dan (melaksanakan) apa yang turun
dari kebenaran itu (Al- Qur’an)”. /
Sumber: taujih.

19 Desember 2008

Salam Kenal

Assalaamu'alaykum wr wb.
Salam kenal dari admin.
Saya Esa, mahasiswi, karyawan swasta, juga seorang yang akan terus Learn What to Learn :)