24 Desember 2008

Mendaki Sejarah

Di alam batin para pahlwan, pencinta dan pembelajar sejati, hidup selalu
dimaknai dengan pendakian sejarah. Kita akan sampai ke puncak kalau kita
selamanya mempunyai energi dan rute pendakian yang jelas. Pendakian kita
akan terhenti begitu kita kehabisan nafas dan kehilangan arah. Energi
dan rute, nafas dan arah, adalah kekuatan fundamental yang selamanya
membuat kita terus mendaki, selamanya membuat hidup terus bertumbuh.


Semakin tinggi gunung yang kita daki, semakin panjang nafas yang kita
butuhkan. Begitu kita kehabisan oksigen, kita mati. Semakin kita berada
di ketinggian semakin kita kekurangan oksigen. Itu sebabnya kita harus
merawat dan mempertahankan semangat kepahlawanan kita. Karena dari
sanalah kita mendapatkan nafas untuk terus mendaki.


Tapi kita perlu rute yang akurat dan jelas. Sebab kesadaran tentang
jarak memberikan kita kita kesadaran lain tentang bagaimana
mendistribusikan energi secara seimbang dan proporsional dalam jarak
tempuh yang harus dilalui dan pada lama waktu yang tersedia.


Rute yang jelas dan akurat akan membuat kita jadi terarah. Keterarahan,
atau perasaan terarahm, /sense of direction, / memberi kita kepastian
dan kemantapan hati untuk melangkah. Pandangan mata kita jauh menjangkau
masa depan, menembus tabir ketidaktahuan, keraguan dan ketidakpastian.
Kita tahu kemana kita melangkah, berapa jauh jarak yang harus kita
tempuh, berapa lama waktu yang kita perlukan. Ketika kita menengok ke
belakang, atau melihat ke bawah, ke kaki gunung yang telah kita lalui,
ke lembah ngarai yang terhampar di sana, kita juga tahu jarak yang telah
kita lalui. Ilham dari masa lalu dan mimpi masa depan terajut indah dan
cerah dalam realitas kekinian.


Rute itu membuat kita menjalani kehidupan denga penuh kesadaran akan
jarak dan waktu. Dalam kesadaran ini fokus kita tertuju pada semua upaya
untuk menjadi efisien, efektif dan maksimal. Kita menjadi peserta
kehidupan yang sadar, kata Muhammad Iqbal.


Kesadaran itu manifestasi pembelajaran. Kesadaran itu melahirkan
kekhusyukan. Maka begitulah sejak dini benar, tepatnya pada tahun
keempat periode Makkah, Allah menegur keras para sahabat Rasulullah saw,
generasi pertama Islam, untuk tidak banyak bercanda dan segera menjalani
kehidupan dengan kekhusukan:


“/Belumkah datang saatnya bagi orang-orang yang beriman untuk
mengkhusukkan diri mengingat Allah dan (melaksanakan) apa yang turun
dari kebenaran itu (Al- Qur’an)”. /
Sumber: taujih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar